Friday, December 2, 2016

Take their minds, and also their mines.

oleh: Muhammad Farhan 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa benua Afrika adalah benua yang sangat kaya, baik dari sisi sumber daya alam maupun budayanya. Benua yang secara geografis adalah ‘ibu’ dari benua amerika selatan ini adalah benua tertua di dunia. Pada era pelayaran menuju sumber rempah-rempah, para pelayar eropa memutari Afrika untuk mencapai India dan membuat koloni juga pos perdagangan di benua tersebut. Pada awalnya bangsa-bangsa dari Eropa datang untuk menjelajah dan berdagang tetapi tujuan akhirnya berubah menjadi okupasi dan eksploitasi. Scramble of Africa adalah bentuk nyata dari kolonisasi oleh bangsa eropa.
Dekolonisasi dimulai pada tahun 1950 dan puncaknya pada tahun 1960 yang dijuluki the year of africa dimana 17 negara di Africa mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun itu. Tepat diantara tahun 1950 dan 1960 diadakan Konfrensi Asia-Afrika atau lebih dikenal dengan Konfrensi Bandung yang mengundang negara-negara dunia ketiga di Afrika dan Asia untuk membicarakan masalah ekonomi, politik, perang dingin, anti-rasisme, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme.
Sejak Konferensi Bandung, Tiongkok memulai kampanye nya di Benua Afrika pada masa Zhou Enlai pada taun 1960an dan pembuatan jalur kereta Tanzam sepanjan 1860 km yang diselesaikan tahun 1976 merupakan bukti persahabatan Afrika dan Tiongkok. Pada masa ini, hubungan Tiongkok dan Africa sedang mesra-mesranya.  
Memasuki dekade 80-an, terutama setelah meninggalnya Mao Ze Dong dan Zhou Enlai, Tiongkok melihat Afrika bukan hanya sebagai teman seperjuangan anti kolonialisme tapi juga sebagai sumber dari bahan mentah yang dibutuhkan oleh industri Tiongkok yang sedang berkembang dan sebagai pasar bagi barang-barang murah pabrikan Tiongkok.
Memasuki abad 21, hubungan Tiongkok dengan Afrika semakin mesra terutama dalam bidang ekonomi, militer, perdagangan, dan investasi. Hal ini di akibatkan oleh kebijakan ekonomi luar negri Tiongkok pada tahun 1995 yaitu čµ°å‡ŗ去 (ZĒ’u chÅ«qÅ«) yang artinya ‘pergi ke luar’. Kebijakan ekonomi ini mengajak para pembisnis Tiongkok untuk menguasai pasar dunia dengan menyediakan bantuan dana berbunga rendah dari Bank EXIM Tiongkok. Perdagangan antara Afrika dan Tiongkok pada tahun 2014 adalah $166 Miliar Dollar AS dan diprediksi pada tahun 2030 mencapai angka $1.7 Triliun Dollar AS. Tiongkok menggelontorkan dana sebesar $531 Milliar Dollar AS untuk investasi luar negeri langsungnya dan 4% dari itu—$22 Milliar—ditujukan untuk ekstraksi sumber daya alam, finansial, infrastuktur, listrik, textil, pembangunan sipil dan pemukiman di Afrika.
Ekspansi Tiongkok di Afrika berbeda dengan Ekspansi Tiongkok sebelumnya yang menggunakan strategi yang mengatikan fakta fakta historis dan geografis ke beberapa negara untuk mempermudah ekspansinya, di Afrika, Tiongkok menggunakan ‘flexigemony’ yang bekerjasama dengan negara-negara di Afrika. Afrika mendapatkan keuntungan berupa pajak yang naik, berkurangnya ketergantungan pada bantuan internasional,  dan potensi partner dagang di timur jauh sana sedangkan Tiongkok mendapatkan barang mentah dan pasar untuk industrinya.
Pengaruh Tiongkok pada ekonomi Afrika tergantung kepada harga komoditas yang diperdagangkan, jika harga naik, pengaruh akan Afrika sangat kuat dalam hubungan perdagangan dan diplomasi, sedangkan jika harga turun maka pengaruh Tiongkok akan menguat kembali.

Disamping hubungan perdagangan, Tiongkok juga melakukan investasi besar-besaran di berbagai bidang, seperti : Pertambangan emas, kilang minyak, pertambangan berlian, pembuatan jalan raya, pembangunan jalur kereta, pembangunan bendungan dan penyediaan air juga dalam bidang lainnya.
Dibalik pertumbuhan ekonomi dan perdagangan Tiongkok-Afrika, seperti layaknya di Indonesia banyak warga lokal yang merasa pekerjaannya diambil oleh para pekerja yang didatangkan Tiongkok langsung dari Mainland China, hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran di beberapa negara, contohnya di Afrika Selatan, 75.000 orang harus rela memberikan pekerjaannya kepada pekerja asing dari Tiongkok dan di Nigeria, 80 % pabrik tekstil lokal tutup karena adanya tekstil murah dari Tiongkok. Hal ini mengakibatkan munculnya gerakan Anti-Tiongkok.
Perspektif Realisme: Hubungan Tiongkok dan Afrika
Dari perspektif realisme, aksi ekspansi Tiongkok di Benua Afrika bisa dikategorikan sebagai aksi merkantilis dimana Tiongkok mencari barang mentah untuk industrinya. Dari perspektif realisme juga bisa dilihat bahwa ekspansi Tiongkok ke Afrika merupakan upaya dari Tiongkok untuk memperkuat diri secara ekonomi dan militer dengan adanya supply sumber daya untuk industri di mainland dan kerjasama pembuatan pangkalan militer di beberapa negara afrika untuk memperkuat cengkramannya.
Dalam kasus ini, point realisme yang terlihat yaitu negara sebagai aktor utama dengan membangun militer dan ekonomi. Point realisme juga dapat dilihat dari tujuan Tiongkok untuk mencari sumberdaya di Afrika serta menunjukkan kekuatannya dengan cara merebut hegemoni Eropa dan Amerika di Afrika.

DAFTAR PUSTAKA
China Is Expanding Its Economic Influence in Africa. What Is Africa Getting Out of It? . Slate. Last Modified November 24, 2015 12:58 PM.    http://www.slate.com/blogs/moneybox/2015/11/24/china_s_role_in_africa_is_exciting_for_china_but_is_it_as_great_for_africa.html 
Who is in Charge? State Power and Agency in Sino-African Relations. P'adraig Carmody & Peter Kragelund. http://www.lawschool.cornell.edu/research/ILJ/upload/Carmody-Kraglund-final.pdf
China – Issue 226. Off shore investment. http://www.offshoreinvestment.com/pages/index.asp?title=China_-_Issue_226

No comments:

Post a Comment